Translate

Friday, September 13, 2013

Daftar Kebodohan Dahlan Iskan (3)

Keberhasilan Dahlan Iskan membangkitkan dari keterpurukan, mengerek citra perusahaan pelat merah itu secara signifikan. Sebelumnya, PLN sering diolok-olok sebagai Perusahaan Lilin Negara. Sejak penyakit byar-pet bisa diatasi, banyak orang yang memberi pujian pada PLN.

Apalagi ketika, PLN membuat kampanye “menantang” siapa saja yang ingin menambah daya pasti dilayani. Padahal, sebelumnya calon pelanggan harus menunggu berbulan-bulan, bahkan ada yang berbilang tahun untuk mendapatkan aliran listrik.

Secepat itulah PLN berubah? Ya, memang PLN berubah sangat cepat. Jauh lebih cepat dari yang diperkirakan Dahlan.

Perubahan cepat pada PLN itu memancing perhatian berbagai pihak. Dahlan diundang ke berbagai forum untuk berbagai ilmu dan pengalaman dalam mengelola PLN. Dari kampus hingga asosiasi profesi. Dari media online hingga televisi.

Dalam berbagai forum, perhatian audience umumnya selalu pada rahasia kepemimpinan Dahlan dalam transformasi PLN. Mereka penasaran, bagaimana Dahlan yang lulusan Madrasah Aliyah di Pesantren Sabilul Muttaqin, kemudian menjadi wartawan Tempo lalu menjadi CEO Jawa Pos Group, sukses memimpin perusahaan listrik.

Berkali-kali, Dahlan dengan bangga menjelaskan bahwa PLN sejatinya sebuah perusahaan hebat dengan sumber daya manusia yang baik. Pola rekrutmennya bagus, kompetensi karyawannya juga mumpuni. PLN hanya butuh “seorang bodoh” untuk menggerakkan organisasinya saja.

Dulu, sekitar 15 tahun lalu saya pernah bertanya bagaimana Dahlan yang lulusan setingkat SMA bisa menjadi CEO Jawa Pos Group, memimpin begitu banyak perusahaan, dengan karyawan yang mayoritas sarjana.

“Nasib orang bodoh itu jadi pimpinan. Nasib orang pintar jadi karyawan,” jawab Dahlan sembari tertawa.

“Coba Anda buka iklan lowongan. Untuk sebuah pekerjaan yang sederhana saja, butuh kualifikasi sarjana. Mana bisa saya melamar menjadi karyawan. Saya hanya lulusan Madrasah Aliyah,” jelas Dahlan.

“Karena untuk menjadi karyawan tidak memenuhi syarat, maka saya membuat perusahaan saja. Kemudian saya pimpin perusahaan itu. Saya buka lowongan kerja. Dapatlah banyak sarjana yang pintar-pintar sebagai karyawan saya,” lanjut Dahlan.

“Jadi, orang yang pintar nasibnya dipimpin orang bodoh?” tanya saya sambil tertawa. (habis)

Joko Intarto
Pengalaman pribadi

No comments: