Translate

Monday, September 23, 2013

Jika Anak Suka Memukul

  • Anak Anda akan memukul anak lain dan ia pun akan dipukul anak lain. Bagaimana Anda menyikapinya?

    "Bu, tadi Dita mukul Andi sampai nangis ," lapor babysitter begitu Anggi pulang kerja. Kontan wajah Anggi memerah. Pasalnya, bukan sekali itu saja Dita, putrinya yang baru berusia 1,5 tahun, memukul temannya waktu bermain. Dan seperti biasa, Anggi segera menelepon orangtua Andi dan meminta maaf.

    Seperti halnya Anggi, Anda pun mungkin malu ketika batita Anda memukul temannya. Kebanyakan orangtua merasa seperti itu, karena takut dianggap tak mampu mendidik anak dengan baik. Padahal, Perilaku memukul, sebagaimana perilaku agresif lainnya seperti menggigit, menendang, mendorong, mencubit, dan melempar-lempar barang, Menurut para ahli, wajar-wajar saja di usia batita. Apalagi jika hal itu dilakukan anak Anda yang baru berusia setahun. Ini karena ia belum mampu mengungkapkan perasaan-perasaannya maupun keinginan-keinginannya.
    Seperti dikatakan psikolog Rahmitha P. Soendjojo , perilaku memukul biasanya muncul pada anak yang belum bisa berbicara atau baru mulai belajar bicara. "Perbendaharaan katanya masih sangat terbatas, sehingga memukul menjadi salah satu bahasa untuk menyatakan keinginannya maupun ketika ia merasa kurang nyaman atau tak aman," jelas Pjs. Manajer Komunikasi YKAI ini.
    Perilaku memukul, menurut Rahmitha, juga bisa terjadi pada anak yang punya energi berlebihan. "Jika ia banyak dilarang sementara energinya tetap ada dan ia tak tahu cara menyalurkannya, akibatnya ia lalu memukul atau melakukan perilaku agresif lainnya," tutur lulusan Fakultas Psikologi Unpad ini. Begitu pula dengan anak-anak yang terluka, entah karena marah, kesal, kecewa, atau sedih, dan ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan-perasaan itu.

    DIJAUHI TEMAN

    Dalam buku What to Expect the Toddler Years karya Einsenberg, Murkoff & Hathaway, dikatakan, banyak perilaku agresif anak usia ini berhubungan dengan frustrasi. Ini karena dalam diri mereka seringkali muncul konflik antara rasa percaya dan tak aman, keinginan mandiri dan ketergantungan, keinginan berkuasa dan keadaan tak berdaya. Dan, jangan lupa, anak usia ini memiliki rasa ingin tahu yang besar serta senang bereksperimen.
    Bagaimanapun, kata Rahmitha, Bagi batita, memukul atau perilaku agresif lainnya adalah reaksi alamiah ketika seseorang merasa kesal, marah, atau frustrasi. Begitu pula yang dialami batita Anda. Jadi, wajar saja bila ia memukul atau dipukul anak lain. Tapi bukan berarti Anda boleh mengijinkan ia memukul. Anda tetap tak boleh membiarkan ia memukul, hanya karena ia masih terlalu kecil untuk mengetahui hal yang baik. Memang, masih cukup sulit baginya untuk mengerti perbedaan benar dan salah, tapi ia sepenuhnya akan mengerti mana tingkah laku yang Anda inginkan dan mana tingkah laku yang Anda larang.

    Lagipula, dengan membiarkan anak memukul, lama-lama ia tak mengenal cara lain untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya. Jika memukul akhirnya menjadi kebiasaan, ia akan dijauhi oleh teman-temannya yang berarti menghambat perkembangan sosialisasinya.

    Jadi, apa yang harus kita lakukan jika anak memiliki "hobi" memukul?

    KALAU IA MEMUKUL
    *Beri Arahan Singkat
     Ketika ia hendak memukul, cepat pegang tangannya dan katakan, "Jangan memukul. Mama tak suka bila kamu memukul, karena itu sakit." atau, "Mama sayang kamu, tapi Mama tak senang bila kamu memukul." Kalimat-kalimat seperti ini cukup efektif untuk ia agar mendengar pengarahan Anda.
      * Alihkan Perhatiannya
    Setelah Anda melarangnya memukul, segera alihkan perhatiannya dengan mengajak ia berpartisipasi dalam permainan lain tanpa konfrontasi. Dengan demikian, untuk sementara, ia dan temannya akan melakukan permainan baru satu sama lain dengan tenang.
      * Jangan Mempermalukan
     Kata-kata yang Anda gunakan untuk membuat ia berhenti memukul dapat menjadi suatu kekuatan tersendiri. Jika Anda sampai mempermalukannya, Anda hanya akan membuat ia melawan dan bertindak defensif. Jangan berkata, "Kamu memang anak nakal!" tapi katakan, "Mama tak suka bila kamu memukul Jodi."

    * Bersikap Konsekuen
    Jika ia kembali memukul, bertindaklah tegas dan konsekuen. Ia harus menghentikan permainannya, entah dengan menyuruhnya duduk di sebelah Anda tanpa aktivitas untuk beberapa saat, atau ajak ia pulang jika saat itu ia bermain di rumah temannya. Katakan padanya, "Kamu tidak bermain baik sama sekali. Kamu gampang sekali memukul teman. Teman-temanmu tidak menyukaimu lagi jika kamu suka memukul."
    * Time-out
     Ini cara yang baik untuk mengatasi dorongan memukul, tapi bukan merupakan tindakan hukuman. Ini merupakan satu cara untuk mengendalikan emosi anak, agar ia melihat apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya. Tapi jangan gunakan time-out untuk menguliahinya. Petuah diberikan setelah time-out selesai dan ia sudah mulai tenang.
    * Selamatkan Korban
     Jika anak lain sampai menangis karena dipukul anak Anda, segera pusatkan perhatian pada anak itu dan hiburlah daripada menegur anak Anda. Jika anak Anda menyerang, pisahkan anak lain itu dengan aktivitas lain, lalu tenangkan anak Anda. Dengan nada rendah dan tanpa kemarahan, jelaskan secara ringkas bahwa memukul adalah perilaku yang tak dapat diterima dan mengapa hal itu tak boleh dilakukannya. Misalnya, Anda dapat mengatakan, "Kamu menyakiti Andi ketika kamu memukulnya."
    * Tunjukkan Perilaku Yang Anda Inginkan
    Jika ia memukul Anda, dengan tenang jauhkan tangannya dan pegang ia. Katakan dengan singkat dan sungguh-sungguh, tapi tanpa kemarahan, "Tolong jangan pukul Mama. Itu menyakitkan." Lalu, gunakan tangannya untuk mengusap secara lembut, bagian tubuh Anda yang ia pukul, dan katakan, "Lihat, inilah yang Mama sukai.

    TINDAK PENCEGAHAN
    * Tentukan Batas
    Tentukan aturan yang jelas bagaimana ia harus bertingkah laku. Mulai usia 18 bulan, ia cukup mampu untuk memahami batasan-batasan sederhana, meskipun ia tak akan mematuhinya sepanjang waktu. Yang penting, biarkan ia tahu bahwa menyakiti orang lain dan menggunakan kekuatan kasar untuk memecahkan konflik adalah salah.
    * Sahkan Perasaannya
    Semua perasaan adalah sah, tapi tidak demikian dengan beberapa perilaku. Katakan padanya, "Kamu boleh merasa marah ketika temanmu merebut mainanmu. Tapi kamu tak boleh memukul, karena pukulan membuat sakit."

    * Ajarkan Kata-kata Pengganti Pukulan
    Anda dapat mengajarkannya kata-kata seperti "Hentikan!", "Jangan!", "Ini milikku!", "Tidak!" dan "Pergilah!" sebagai alternatif memukul. Sehingga, saat temannya merebut mainan yang sedang ia mainkan, ia dapat mengatakan, "Jangan, ini milikku!", bukan malah memukulnya.

    * Minimalisir Frustrasi
    Bantu ia mempelajari keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari seperti keterampilan sosial, bermain, berbusana, dan keterampilan makan. Ini akan mengurangi rasa frustrasinya.
    * Awasi Saat Ia Bermain
    Selalu dampingi saat ia bermain bersama teman-teman atau saudara kandungnya, tapi Anda tak harus selalu berada di dekatnya. Yang penting, Anda dapat dengan mudah mengawasinya.

    * Batasi Jumlah Teman Bermainnya
    Di usia ini, ia baru mulai belajar bersosialisasi. Dua atau tiga teman bermain sudah cukup dalam satu waktu permainan. Anda pun lebih mudah mengawasinya.
    * Beri Perhatian Untuk Perilaku Baik
    Memukul seringkali mengundang perhatian anak-anak yang kerap diabaikan atau tak dihargai ketika mereka berperilaku baik. Seorang anak yang merasa tak cukup diperhatikan akan mungkin melakukan sesuatu untuk diperhatikan, salah satunya memukul teman atau saudara kandung. Beri ia cukup perhatian seperti hadiah, ciuman, dan pelukan untuk perilakunya yang baik.

    * Kontrol Diri Anda
    Apa pun yang Anda lakukan dan alami, jangan bereaksi terhadap perilaku tak menyenangkan dari anak dengan memukulnya. Jika Anda sedang stres dan Anda memukulnya, berarti Anda mengajarkan ia bahwa kekerasan adalah reaksi wajar dari orang yang berada di bawah tekanan atau stres. Jadi, jangan sampai Anda lepas kontrol.

    * Jangan Gunakan Pukulan Untuk Disiplin
    Jika Anda melarangnya memukul, tapi Anda malah memukul tangannya saat melarang sesuatu, maka Anda tak membantu ia melihat apa yang seharusnya ia ketahui dari suatu kebiasaan. Dengan Anda memukulnya, ia belajar bahwa memukul merupakan satu cara agar orang lain mematuhi perintahnya atau memenuhi keinginannya.

    JIKA IA TETAP MEMUKUL

    Anda sudah mencegah dan melarangnya memukul, tapi ia tetap melakukannya. Mungkin ia punya alasan khusus mengapa ia masih tetap memukul. Coba amati suasana rumah dan lingkungan sekitarnya. Apakah memukul merupakan satu kebiasaan yang dilakukan orang dewasa untuk mengekspresikan kemarahannya dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan? Atau mungkin ia banyak menyaksikan adegan kekerasan di TV?
    Mungkin juga karena ia dipermalukan sehingga ia menyerang kembali dengan caranya sendiri, yaitu memukul. Atau, bisa jadi ia ketakutan dan mencoba melindungi dirinya dari gangguan, kejahatan, atau lingkungan yang ia anggap membahayakan.

    Bisa juga karena ia memiliki energi berlebihan, sementara Anda memberinya banyak batasan-batasan. Jika ia banyak dilarang sementara ia tak tahu bagaimana menyalurkan energinya yang berlebih itu, ia lalu memukul atau melakukan perilaku agresif lainnya.

    Jika kebiasaannya memukul terus berlanjut, Anda sebaiknya berkonsultasi pada dokter atau psikologi anak.

    JADILAH TELADAN ANAK
    Anda Pun Tak Boleh Memukul
    Ada beberapa alasan mengapa Anda harus mengindari memukul anak.
    *1. Memukul membuat ia berpikir bahwa memukul itu tak apa-apa alias boleh-boleh saja.
    *2. Memukul merendahkan anak. Jika Anda memukulnya karena ia memukul anak lain, ia merasa anak lain lebih berarti dibanding dirinya.
    *3. Memukul tak akan memperbaiki perilakunya. Pukulan mungkin dengan cepat menghentikan sebuah tindakan yang salah, tapi ia menjadi sangat terobsesi dengan rasa hina yang ia rasakan ketimbang alasan mengapa ia dipukul.
    *4. Memukul membangkitkan amarah. Rasa terhina akibat pukulan Anda, bisa membuatnya berontak dan kembali menyerang. Jika pun ia diam saja dan tampak menerima pukulan Anda, tapi dalam hatinya mungkin ia menolak dan ia akan mencari kesempatan untuk membalas sakit hatinya.
    *5. Sekali Anda memukul, Anda akan terdorong untuk memukulnya lagi di waktu-waktu lain ketika ia berbuat salah atau menunjukkan perilaku yang tak menyenangkan Anda.
    *6. Ingatlah, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka memukul akan cenderung menjadi agresif dalam menangani konflik dengan orang lain.

    Julie Erikania/nakita

Usia 0-15 tahun Fase Pembentukan Karakter yang Kuat pada Anak

  • Belum lama ini saya mengikuti seminar parenting di sekolah putri saya, dalam seminar tersebut pemberi materi adalah seorang psikolog bernama bpk. Irwan Rinaldi. Tema seminar tentang peran serta ayah dalam pengasuhan anak. Tapi yang menarik dlm pembahasan saat itu adalah tentang pembentukan karakter yang kuat pada anak, yang semestinya terjadi pada usia 0-15 tahun. Saat anak berusia di atas 15 tahun sudah terbentuk karakter yang sulit untuk diubah. Sehingga di masa 0-15 tahun tersebut masa yang sangat penting bagi orangtua menanamkan dan membentuk karakter yang kuat pada anak.

    Apakah Karakter itu?
      Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Wynne, 1991). Dalam bahasa Inggris, character bermakna hampir sama dengan sifat, perilaku, akhlak, watak, tabiat dan budi pekerti (Taryana & Rinaldi, www.sd-binatalenta.com). Oleh karena itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek. Sementara orang yang berperilaku jujur atau suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter sangat berkaitan erat dengan personality (kepribadian), yang mana seseorang disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
    Menurut Megawangi (1999) ada 9 pilar karakter yaitu: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah dan kejujuran; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi, cinta damai dan persatuan.

    Peran orangtua dalam pembentukan karakter anak.

    Ayah-ibu merupakan figur orang dewasa pertama yang dikenal anak sejak bayi. Selain kedekatan karena faktor biologis, anak biasanya cukup dekat dengan ayah-ibunya karena faktor intensitas waktu yang cukup banyak ia habiskan bersama mereka. Oleh karena itu, ayah-ibu mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan anak, termasuk dalam hal pengembangan karakter. Peran penting ayah-ibu ini memerlukan perencanaan dan tindak lanjut, agar ayah-ibu dapat melakukan pengasuhan yang mampu mengembangkan karakter yang baik bagi anak-anaknya.
    Namun kenyataan tidak semudah teori. Suatu data penelitian menyebutkan bahwa dari 100 % orang tua, yang mampu dan sadar untuk bisa mendidik karakter anak tidak lebih dari 20 atau 30%. Selebihnya tidak memiliki kapasitas untuk mendidik anak (Yaumil dalam Harry, 2002). Banyak kasus kerusakan moral dan perilaku anak yang terjadi disebabkan pengaruh buruk dari pengasuhan ayah/ibu yang tidak patut. Selain itu, tantangan kehidupan modern yang ditandai dengan berbagai fenomena seperti: kedua orang tua (ayah-ibu) yang bekerja, derasnya arus informasi media cetak dan elektronik yang nyaris tanpa saringan, dan terpaparnya anak dengan pornografi; diduga juga berpengaruh signifikan terhadap pengembangan karakter anak. Berbagai tantangan tersebut makin menguatkan akan peran penting pengasuhan yang patut oleh ayah-ibu bagi pengembangan karakter anak. Agar ayah-ibu dapat mengembangkan karakter anak melalui pengasuhan yang patut, perlu disosialisasikan tentang pentingnya pengasuhan yang patut serta berbagai ilustrasi tentang cara ayah-ibu mengasuh anak secara patut. Salah satu bentuk sosialisasi tersebut adalah melalui seminar, pelatihan, atau penyebarluasan media edukatif untuk ayah-ibu.

    Apakah karakter seseorang dapat dirubah?
    Rizal (dalam www.sahabatnestle.co.id) mengatakan bahwa karakter seseorang tidak dapat diubah, namun lingkungan dapat menguatkan atau memperlemah karakter tesebut. Oleh karena itu orang tua sebagai acuan pertama anak dalam membentuk karakter perlu dibekali pengetahuan mengenai perkembangan anak dengan melihat harapan sosial pada usia tertentu, sehingga anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berkarakter. Menurut Taryana dan Rinaldi (www.sd-binatalenta.com), karakter terbentuk dari proses meniru yaitu melalui proses melihat, mendengar dan mengikuti. Maka karakter sesungguhnya dapat diajarkan secara sengaja. Oleh karena itu seorang anak dapat memiliki karakter yang baik atau juga karakter buruk, tergantung sumber yang ia pelajari.
    Apa saja yang dapat dilakukan orangtua dalam pembentukan karakter anak?

    Pada keluarga inti, peranan utama pendidikan terletak pada ayah-ibu. Philips (dalam Nurokhim, www.tnial.mil.id) menyarankan bahwa keluarga hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang (school of love), atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
    Menurut Gunadi (dalam www.skketapang.org), ada tiga peran utama yang dapat dilakukan ayah-ibu dalam mengembangkan karakter anak, yaitu sebagai berikut:

    1. Berkewajiban menciptakan suasana yang hangat dan tenteram. Tanpa ketenteraman, akan sukar bagi anak untuk belajar apapun dan anak akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan jiwanya. Ketegangan atau ketakutan adalah wadah yang buruk bagi perkembangan karakter anak.
    2. Menjadi panutan yang positif bagi anak sebab anak belajar terbanyak dari apa yang dilihatnya, bukan dari apa yang didengarnya. Karakter orangtua yang diperlihatkan melalui perilaku nyata merupakan bahan pelajaran yang akan diserap anak.
    3. Mendidik anak, artinya mengajarkan karakter yang baik dan mendisiplinkan anak agar berperilaku sesuai dengan apa yang telah diajarkannya.

    Keluarga yang sehat dicirikan dengan keterlibatan ayah-ibu yang hangat dalam mengasuh dan mendidik anak, sehingga anak akan memiliki figur ayah-ibu yang seimbang serta memiliki hubungan emosional yang lebih kuat dengan ayah-ibunya. Jika ayah-ibu sering bertemu dan berdialog dengan anak, anak akan menghormati ayah-ibunya. Semakin besar dukungan ayah-ibu terhadap anak, semakin tinggi perilaku positif anak(www.bkkbn.go.id).

    Untuk mengembangkan karakter anak, yaitu:
    1. memperlakukan anak sesuai dengan karakteristik anak dan memahami bahwa setiap anak unik;
    2. memenuhi kebutuhan dasar anak antara lain kebutuhan kasih sayang, pemberian makanan bernutrisi, rasa aman, dan nyaman;
    3. memperhatikan pola pendidikan yang diajarkan oleh guru di sekolah anak dan mencoba menyelaraskan pola tersebut dengan pola pengasuhan orang tua;
    4. memberikan dukungan dan penghargaan ketika anak menampilkan tingkah laku yang terpuji;
    5. memberikan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan usia perkembangannya. Jika lingkungan sosial kurang baik, sebaiknya ayah-ibu memindahkan anak dari lingkungan tersebut; dan
    6. bersikap tegas dan konsisten.

    Sebaliknya, ada beberapa hal yang perlu dihindari ayah-ibu dalam mengembangkan karakter anak, yaitu:
    1. memaksakan ambisi-ambisi pada anak, apalagi jika bertentangan dengan karakter dasar anak;
    2. berkata atau berbuat kasar pada anak, karena berpotensi menimbulkan ketaatan sesaat dan kepribadian pemberontak;
    3. tidak membanding-bandingkan anak;
    4. tidak terlalu sering berganti-ganti pola asuh karena cenderung mempengaruhi kepribadian anak; dan
    5. tidak melemahkan pola asuh dengan penganiayaan pada anak, baik secara verbal maupun fisik. Biasanya jika penganiayaan ini dilakukan orang tua, pada anak akan timbul sikap curiga berlebihan (skeptis), menarik diri, dan enggan menjalin komunikasi dengan orangtua.

    Secara rinci, setidaknya terdapat 10 cara yang dapat dilakukan ayah-ibu untuk melakukan pengasuhan yang tepat dalam rangka mengembangkan karakter yang baik pada anak, yaitu sebagai berikut (Ryan, dalam www.charactered.net).

    1. Menempatkan tugas dan kewajiban ayah-ibu sebagai agenda utama.
    Pada jaman modern yang penuh persaingan hal ini cukup sulit dilakukan. Namun ayah-ibu yang baik akan secara sadar merencanakan dan memberikan waktu yang cukup untuk tugas keayahbundaan (parenting). Mereka akan meletakkan agenda pembentukan karakter anak sebagai prioritas utama.

    2. Mengevaluasi cara ayah-ibu menghabiskan waktu dalam sehari/seminggu.
    Ayah-ibu perlu memikirkan jumlah waktu yang ia lalui bersama anak-anak. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa jumlah waktu seorang ayah bersama anak sehari-harinya ternyata tidak lebih dari 19 menit (Risman, 2008). Ayah-ibu perlu merencanakan cara yang sesuai dalam melibatkan diri bersama anak-anak, melalui berbagai kegiatan sehari-hari seperti belajar bersama, makan bersama, mendongeng sebelum tidur, dan sebagainya.

    3. Menyiapkan diri sebagai contoh yang baik.
    Setiap anak memerlukan contoh yang baik dari lingkungannya. Ayah-ibu merupakan lingkungan terdekat yang paling banyak ditiru oleh anak, baik atau buruk. Hal ini tidak dapat dihindari, karena mereka sedang pada masa imitasi dan identifikasi. Menjadi contoh bagi anak merupakan pekerjaan utama yang harus dilakukan sebagai orang tua.

    4. Membuka mata dan telinga terhadap apa saja yang sedang mereka serap/alami.
    Anak-anak ibarat spons kering yang cepat menyerap air. Kebanyakan yang mereka serap adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan karakter. Berbagai media seperti buku, lagu, film, TV, play station secara terus-menerus memberikan pesan pada anak dengan cara yang mengesankan, baik pesan yang bermoral maupun tidak bermoral. Oleh karena itu, ayah-ibu harus menjadi pengamat yang baik untuk menyeleksi berbagai pesan-pesan dari berbagai media yang digunakan anak.

    5. Menggunakan bahasa karakter.
    Anak-anak akan sulit mengembangkan karakternya kecuali jika orang tua menggunakan bahasa yang jelas dan lugas tentang tingkah laku baik dan buruk. Ayah-ibu perlu selalu menjelaskan pada anak tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh berikut alasannya.

    6. Memberikan hukuman dengan kasih sayang.
    Hukuman tidak identik dengan kekejaman. Banyak ayah-ibu yang kurang tepat dalam mempersepsikan hukuman ini, sedemikian menghindari sehingga cenderung memanjakan anak. Akibatnya anak menjadi pribadi yang sulit diatur. Anak-anak memerlukan batasan atau rambu-rambu yang jelas, dan kadang mereka melanggar batasan tersebut. Di sinilah arti penting dari hukuman. Hukuman yang mendidik merupakan salah satu cara manusia untuk belajar. Anak-anak perlu memahami bahwa jika ayah-ibu memberikan hukuman adalah karena ayah-ibu sayang pada mereka. Tentu saja dalam hal ini ayah-ibu juga perlu memahami dengan baik tentang syarat dan cara memberikan hukuman yang mendidik pada anak.

    7. Belajar untuk mendengarkan anak.
    Berkomunikasi yang efektif dengan anak bukanlah hal yang mudah. Salah satu hal yang kadang dilupakan ayah-ibu adalah meluangkan waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah atau cerita anak. Dengan kesibukan ayah-ibu yang padat setiap harinya (apalagi jika keduanya bekerja), maka waktu senja dan malam hari saat bertemu anak-anak terkesan sebagai waktu sisa. Padahal, pada saat itu biasanya banyak sekali yang ingin disampaikan anak pada ayah-ibunya. Oleh karena itu, ayah-ibu perlu selalu mengalokasikan waktu untuk mendengarkan anak-anak. Selain itu, ayah-ibu perlu menegaskan agar anak-anak tahu bahwa apapun yang mereka ceritakan itu sangat penting dan menarik. Tentu hal ini harus selaras dengan sikap ayah-ibu sewaktu mendengarkan anak, misalnya dengan duduk sejajar mata anak, sambil memangku, atau mengobrol santai selepas makan malam; bukan mendengarkan sambil membaca koran atau menonton televisi.

    8. Terlibat dengan kehidupan sekolah anak.
    Sekolah merupakan bagian penting dalam kehidupan anak-anak. Bukan hanya mendapatkan kesenangan, selama di sekolah kadang anak juga menemukan berbagai permasalahan, kekecewaan, perselisihan pendapat, atau kekalahan. Ayah-ibu perlu membantu menyiapkan anak untuk menghadapi semua hal tersebut. Jika anak berhasil melalui berbagai masalahnya di sekolah, karakter anak juga akan makin kokoh dan anak makin percaya diri menatap masa depan.

    9. Selalu mengadakan makan bersama.
    Meskipun sibuk, ayah-ibu perlu meluangkan waktu untuk makan bersama dengan seluruh keluarga, setidaknya sekali dalam sehari (makan pagi atau malam hari). Makan bersama merupakan sarana yang baik untuk berkomunikasi dan menanamkan nilai yang baik. Melalui percakapan ringan saat makan, anak tanpa sadar akan menyerap berbagai peraturan dan perilaku yang dikehendaki.

    10. Tidak mendidik karakter melalui kata-kata saja.
    Ayah-ibu perlu membantu mengembangkan karakter yang baik melalui contoh tentang berbagai sikap dan kebiasaan baik seperti tentang kedisiplinan, hormat, santun, tolong-menolong, dan lain-lain. Karakter anak tidak akan berkembang baik jika hanya melalui nasehat ayah-ibu saja. Pondasi dalam pengembangan karakter adalah perilaku, yaitu bagaimana ayah-ibu berupaya mendorong anak-anak untuk terbiasa berperilaku baik melalui contoh langsung.By Wini Afiati

    W.A
    Sumber: Seminar Nasional Meretas Hubungan Ideal Pendidik dan Anak untuk Pengembangan Karakter Anak, 8 Mei 2008 di UNY, Yogyakarta.

Mengatasi Konflik/Pertengkaran Kakak-Adik


  • Sebagai orangtua, melihat anak-anak suka bertengkar membuat pusing kepala, dan membuat kita jadi bertanya-tanya kesalahan apa yang telah kita lakukan hingga anak-anak selalu saja ribut/bertengkar.
    Sejumlah penelitian telah membuktikan, bahwa pertengkaran antar saudara ini baik untuk perkembangan mental dan emosional anak, dan juga meningkatkan kedewasaan dan kemampuan bersosialisasi.
    Seperti diberitakan the guardian, Dr Claire Hughes, penulis buku Social Understanding and Social Lives, semakin kakak beradik merasa saudaranya sebagai pengganggu, semakin mereka belajar untuk mengontrol emosi dan bagaimana mereka bisa mempengaruhi emosi satu sama lain.
    Hughes menambahkan, kakak beradik yang tidak akur, akan sering berargumentasi di mana anak tertua akan cenderung menjatuhkan adiknya. Namun mereka berdua akan mendapatkan pelajaran yang kompleks tentang komunikasi dan seluk-beluk pemilihan kata dan bahasa.

    Tentu saja pertengkaran sengit ini tidak boleh dibiarkan sampai tahap destruktif.
    Di sinilah anak-anak belajar bagaimana memahami diri mereka sendiri dan mengontrol emosi, karena kemampuan ini akan berguna sepanjang hidup mereka.

    Tidak hanya dengan saudara, dalam kehidupan nyata mereka bisa saja berseteru dan terlibat konflik dengan teman sekolah, guru mereka, tetangga dan juga rekan kerja.
    Oleh karena itu, kemampuan mengatasi konflik ini sangat penting bagi anak-anak.
    Media yang paling baik, tentu di dalam keluarga dengan orang tua sebagai mediator.
    Dorothy Rowe, seorang psikolog dan penulis My Dearest Enemy, My Dangerous Friend: Making and Breaking Sibling Bonds mengatakan bahwa orang tua tetap harus campur tangan dalam perselisihan di antara kakak beradik untuk menunjukkan cara berargumen yang baik, cara mengontrol emosi dan juga cara memaafkan serta berdamai kembali.
    Konflik antar saudara itu baik, selama orang tua mampu menjalankan campur tangannya secara bijaksana.
    #Meminimalisir Pertengkaran
    Penelitian Laurie Kramer, profesor di bidang pendidikan keluarga dari Universitas Ilinois, AS, menyebutkan, anak usia 2-4 tahun akan mengalami konflik dengan saudara kandung sebanyak 6,3 kali tiap jam, atau satu konflik tiap 10 menit.

    Kurangi keributan kakak-adik, dengan cara ini:
    * Terkadang anak meributkan siapa yang mendapat kue lebih besar, atau siapa yang menentukan acara di TV. Ajarkan mereka untuk bergantian memegang remote control di waktu-waktu yang telah dijadwalkan, atau bergantian memilih pertama kali, potongan kue. Dengan cara ini, Anda tidak perlu repot memisahkan pertengkaran atau mengukur besarnya kue agar sama rata.
    * Hilangkan kompetisi dengan mengembangkan sikap saling menghargai dan mengembangkan keunikkan masing-masing.
    * Anak bisa mencontoh orangtua saat bertengkar. Minimalkan pertengkaran terbuka di depan anak. Jika telanjur, katakan perbedaan pendapat itu biasa, dan pertengkaran salah satu cara untuk mencapai mufakat. Namun tekankan, konflik ada aturannya. Tunjukkan pula bahwa pertengkaran tidak perlu berlarut-larut.
    * Jangan terlalu cepat melerai pertengkaran anak, biarkan mereka memelajari cara menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain. Namun jika pertikaian sudah melibatkan fisik, bertindaklah.
    * Berikan batasan perilaku mana yang dapat ditoleransi dan yang tidak dalam keluarga, dan minta seluruh keluarga mematuhinya.

Fase Negativisme Anak, Saat Pembangkang Cilik Sering Berulah


  • Setiap anak akan mengalami fase negativisme yang ditunjukkan dengan perilaku penolakan dan membangkang. Bagaimana mengatasinya agar tak berlanjut?

    Penting dipahami, semakin anak dilarang, perilaku negativitik akan semakin menjadi. Nah, agar hal tersebut tak terjadi, inilah beberapa hal yang perlu dilakukan orangtua:

    Hindari terlalu banyak menggunakan kata "tidak" atau "jangan". Untuk melarang anak sebaiknya pilih kata positif. Contoh, "Sayang, kita main air di kamar mandi yuk sekalian mandi sore", ketimbang, "Mama kan sudah bilang, jangan main air kran. Basah semua deh."

    Beri kesempatan pada anak untuk melakukan apa yang diinginkannya - tentu saja sejauh tidak membahayakan - tapi tetap dengan pendampingan. Misal, anak ingin membantu menyiram tanaman, sediakan gembor/gayung kecil, lalu ajari anak bagaimana menyiram tanaman dengan air secukupnya.

    Biasakan mengajak anak berdialog sejak kecil, meski perkembangan bahasanya masih terbatas. Umpama, anak menolak permintaan orangtua, tanyakan mengapa ia tidak mau, pancing jawabannya lalu coba arahkan bagaimana seharusnya. Terlebih di usia prasekolah, umumnya penolakan anak disertai dengan alasan. Contoh, "Aku enggak mau makan. Sayurnya pahit."

    Ini karena kemampuan kognitif dan bahasa anak sudah semakin berkembang, demikian juga kemampuan sosialnya. Pada usia ini anak semakin menyadari bahwa mereka dapat bertindak secara mandiri, sesuai keinginannya. Dengan kata lain anak mulai menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan (power) untuk bertindak sesuai kehendaknya.

    Berikan pilihan terbatas. Misal, anak tidak mau segera tidur, orangtua bisa menggunakan kata, "Adek mau gosok gigi dulu atau ganti baju dulu baru tidur?" Dengan begitu anak merasa dilibatkan saat pengambilan keputusan.

    Hindari ancaman/paksaan. Selain membuatnya makin menolak, jadi anak belajar bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan ancaman/paksaan bukan dengan dialog dan saling mendengarkan.

    Memang masa “bandel”, “ngeyel”, “keras kepala” sudah dimulai sejak usia di bawah tiga tahun (1-2,5 tahun) dan masa ini berlanjut sampai awal remaja (pra remaja). Anak itu dalam masa mencoba mengetahui sampai di mana keinginannya bisa disampaikan atau diekspresikan.

    Biasanya keinginan membangkang di usia-usia tersebut muncul karena perasaan lelah. Maka dari itu, kegiatan atau apa pun yang menarik dan menghibur si anak akan membuatnya senang dan lebih tenang. Yang jelas, kadang anak-anak membangkang itu tidak dalam rangka memaksakan kemauannya, yang menguntungkan dirinya, kadang-kadang tujuannya hanya sekedar agar ia dapat bersikap melawan pendapat orang yang lebih besar atau dewasa darinya. Bila memang seperti itu keadaannya, pembangkangan yang dilakukan pada setiap orang ya dalam rangka pelampiasan kepada setiap orang dan terhadap apa pun yang ia akan melawan.

Thursday, September 19, 2013

Beautiful messages !


💬 Stay away from Anger. It hurts ..Only You!
💬 If you are right then there is no need to get angry..
💬 And if you are wrong then you don't have any right to get angry.
💬 Patience with family is love..
💬 Patience with others is respect..
💬 Patience with self is confidence and Patience with GOD is faith..
💬 Never Think Hard about the PAST, It brings Tears...
💬 Don't think more about the FUTURE, It brings Fear..
💬 Live this Moment with a Smile, It brings Cheer..
💬 Every test in our life makes us bitter or better,
💬 Every problem comes to make us or break us,
💬 The choice is ours whether we become victims or victorious.
💬 Beautiful things are not always good but good things are always beautiful..

Wednesday, September 18, 2013

Pembagian Bilangan dengan Menggunakan Bulatan Kecil


Pada saat menulis artikel ini, saya bingung mau diberi judul apa postingannya.Namun itu bukan menjadi satu masalah, tetapi yang penting tips pembelajaran yang akan saya share ini mudah diterapkan oleh kawan guru dalam membelajarkan konsep pembagian pada siswa terutama siswa kelas rendah.
Permasalahan tentang rendahnya kemampuan siswa dalam hal materi pembagianbukan saja dialami oleh kelas rendah, tetapi juga dialami oleh kelas tinggi. Selama ini kita mengajarkan konsep pembagian kepada siswa dengan menjelaskan bahwa pembagian itu adalah pengurangan berulang. Namun masih ada saja siswa yang belum memahaminya.
Pengalaman saya sebagai guru kelas, masih ada juga siswa di kelas saya yang belum memahami konsep dasar pembagian, apalagi pembagian dengan angka ratusan bahkan ribuan. Akhirnya saya menemukan tips pembelajaran berikut yang dirasakan oleh siswa mudah dipahami dan dikerjakan.
Konsep dasar pembagian ini hanya berlaku untuk pembagian dengan angka puluhan, jika angka sudah mencapai ratusan sampai ribuan, maka kitamenggunakan pembagian bersusun, namun tetap mengacu pada konsep pembagian seperti yang share iniKawan guru yang saya cintai, tanpa panjang lebar penjelasannya, marilah kita praktekkan bersama!

Contoh : 12 : 4
Langkah 1 = Karena angka pembaginya 4, maka buatlah 4 bulatan kecil berjajar ke kanan. 


Langkah 2 = Tambahkan masing-masing 4 bulatan lagi di bawahnya sehingga jumlahnya mencapai 12.



Langkah 3 =  Hitunglah baris bulatan yang ada


Jumlah baris bulatan  di atas sebanyak 3 baris, jadi 12 : 4 = 3


Contoh : 18 : 3
Langkah 1 = Karena angka pembaginya 3, maka buatlah 3 bulatan kecil berjajar ke kanan. 




Langkah 2 = Tambahkan masing-masing 3 bulatan lagi di bawahnya sehingga jumlahnya mencapai 18.


Langkah 3 =  Hitunglah baris bulatan yang ada


Jumlah baris bulatan  di atas sebanyak 6 baris, jadi 18 : 3 = 6

Catatan :
Lakukan hal yang sama untuk pembagian lainnya.

Tips perkalian dengan menggunakan garis vertikal dan horizontal


Rekan-rekan guru yang saya cintai, pada postingan lalu saya sudah memberikan tips perkalian dengan menggunakan jari tangan. Perkalian tersebut hanya berkisar di antara angka 6 s/d 10. Sudah barang tentu perkalian tersebut hanya berlaku untuk kelas tinggi yakni kelas 4, 5 dan 6. Bagaimana dengan kelas rendah? Perkalian untuk kelas rendah tentu berkisar pada angka 1 s/d 5. Nah, kali ini saya akan memberikan tips perkalian 1 s/d 5 untuk kelas rendah dengan menggunakan garis vertikal dan horizontal.
Tanpa basa-basi mari kita praktekkan ...!

Contoh : 3 x 4
  • Untuk angka 3 buatlah garis vertikal sebanyak 3 buah garis dan untuk angka 4buatlah garis horizontal sebanyak 4 garis. (lihat gambar di bawah ini)

  • Langkah selanjutnya, hitunglah banyaknya perpotongan garis vertikal dan horizontal, (lihat gambar di bawah ini)
  • Jumlah perpotongan antara garis vertikal dan horizontal sesuai gambar di atas sebanyak 12, jadi hasil perkalian antara 3 x 4 = 12.
Tips ini mudah sekali untuk diterapkan untuk kelas rendah, karena tidak membutuhkan memori bagi siswa yang harus menghafal perkalian 1 s/d 5. Namun jika cara ini sering diterapkan, mudah-mudahan siswa akan merasa senang dan otomatis akan menghafal perkalian-perkalian tersebut.


Selamat mencoba semoga bermanfaat, terima kasih.

Perkalian Jari Bag. 4 : Perkalian 9 dengan 1-10


Tips pembelajaran kali ini sebagai kelanjutan dari perkalian dengan menggunakan jari tangan. Jika sebelumnya saya telah mempostikng Perkalian 3 dengan 1-10, maka postingan kali ini adalah perkalian 9 dengan 1 sampai 10. Langsung saja kita praktekkan :

Perhatikan urutan jari berikut ini!

Contoh : 1 x 9
Jari ke-1 ditekuk, dan hitung sisa jari yang tidak ditekuk lainnya!

Contoh : 2 x 9
Jari ke-2 ditekuk, dan hitung sisa jari yang tidak ditekuk lainnya. Jari yang tidak ditekuk sebelum jari yang ditekuk menjadi angka puluhan, dan jumlah jari setelah jari yang ditekuk menjadi angka satuan.


Contoh : 3 x 9
Jari ke-3 ditekuk, dan hitung sisa jari yang tidak ditekuk lainnya. Jari yang tidak ditekuk sebelum jari yang ditekuk menjadi angka puluhan, dan jumlah jari setelah jari yang ditekuk menjadi angka satuan.


Catatan :
Lakukan hal yang sama dengan perkalian angka 9 lainnya seperti 4 x 9, 5 x 9, 6 x 9, 7 x 9, 8 x 9, dan 10 x 9.

Perkalian Jari Bag. 3 : Perkalian 3 dengan 1-10


Kawan guru yang saya cintai, setelah sebelumnya saya telah memposting Perkalian 6, 7, 8, 9, 10, maka kali ini saya ingin melanjutkan tips pembelajaran perkalian menggunakan jari khususnya untuk perkalian 3 dengan 1 sampai 10. Untuk perkalian 3 ini kita dapat memanfaatkan ruas jari pada jari tangan, di mana setiap jari memiliki ruas jari yang berjumlah 3 ruas. 
Biasanya orang menggunakan ruas jari untuk bertasbih ketika setelah selesai sholat, dengan memanfaatkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita berupa kesempurnaan penciptaan anggota tubuh , maka kita dapat memanfaatkan setiap ruas jari untuk perkalian.
Tanpa banyak komentar, langsung saja kita praktekkan:

Perhatikan ruas-ruas jari berikut ini, masing-masing berjumalh 3 ruas!

   
Contoh : 2 x 3
2 jari dibuka yang lainnya ditekuk, kemudian hitunglah ruas jari  pada 2 jari tersebut!

 
Contoh : 3 x 3
3 jari dibuka yang lainnya ditekuk, kemudian hitunglah ruas jari  pada 3 jari tersebut!

Contoh : 4 x 3
4 jari dibuka yang lainnya ditekuk, kemudian hitunglah ruas jari  pada 4 jari tersebut!


Catatan :
Lakukan hal yang sama dengan perkalian 3 lainnya.

Perkalian Jari Bag. 2 : Perkalian 6, 7, 8, 9, 10


Sebagai tindak lanjut dari postingan sebelumnya tentang perkalian dengan menggunakan jari tangan (Jarimatika), maka postingan kali ini saya ingin berbagai tentang perkalian dengan menggunakan jari, khusus untuk perkalian 6 -10. Tanpa banyak memberikan ulasan, langsung saja ikuti langkah-langkah berikut ini!

Perhatikan urutan jari berikut ini!


Contoh : 7 x 8
Langkah 1 = Tekuk jari 6 dan 7 pada tangan sebelah kiri (lihat gambar)
Langkah 2 = Tekuk jari 6, 7, dan 8 pada tangan sebelah kanan (lihat gambar)


Langkah 3 = Hitung jumlah jari yang ditekuk dan rubah menjadi angka puluhan.





Langkah 4 = Jari yang tidak ditekuk pada tangan sebelah kiri sebanyak 3 jari dan pada tangan sebelah kanan sebanyak 2 jari, kemudian kalikan keduanya (3 x 2 = 6).




Langkah 5 = Jumlahkan hasil antara jari yang ditekuk (50) dengan hasil perkalian jari yang tidak ditekuk (2 x 3 = 6), sehingga 50 + 6 = 56. Jadi 7 x 8 = 56.




Catatan :
Untuk kelanjutan perkalian angka lainnya silahkan anda praktekkan sendiri dengan memperhatikan contoh yang ada. 

Perkalian dengan menggunakan jari tangan (Jarimatika)

Berikut ini adalah metode perkalian dengan menggunakan jari tangan. Jika anda memahami dengan baik aturan-aturan dalam perkalian di bawah ini, mudah-mudahan anda tidak merasa kesulitan dalam mencoba melakukan perkalian dengan angka-angka lainnya selain contoh yang adany. Semoga hal ini dapat bermanfaat bagi para guru dalam mengajarkan perkalian bagi para siswa.
PERKALIAN 7
A. PERKALIAN 7 DENGAN 1, 2, DAN 3
Contoh : Perkalian 7 X 2 dan 7 x 3
B. PERKALIAN 7 DENGAN 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
Contoh : Perkalian 7 x 4 dan 7 x 6
PERKALIAN 8
A. PERKALIAN 8 DENGAN 1, 2, 3, 4, DAN 5
Contoh : 8 x 2 dan 8 x 4

Demikian contoh perkalian ini. Nani akan ada lagi perkalian-perkalian lain dengan menggunakan jari tangan selain contoh di atas.

Selamat mencoba, terima kasih.